Diary Depresiku adalah sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Last Child, lagu yang memiliki perasaan luar biasa bagi orang-orang yang mengalami luka yang amat dalam—perceraian.
Mendegar bait pertama lagu ini membuat tubuh saya lemas, ketika sampai di reff saya menangis, mungkin bagi sebagian orang lagu ini tidak terlalu menarik, tapi lain cerita ketika Anda adalah korban dari perceraian itu sendiri.
Saya sendiri mengalami kerusakan mental, menjadi seorang pendiam di dalam rumah karena ketakutan yang saya alami dan menjadi seorang periang yang selalu bercanda dan tertawa ketika berada di luar rumah.
Berbicara kepada saudara sendiri pun rasanya sulit luar biasa, bahkan mengucapkan makan saja harus bergulat di dalam diri, yang pada akhirnya saya tidak pernah mengucapkan apapun ketika makan dekat mereka. Namun ketika dengan orang lain saya sangat lancar mengucapkannya.
Merasa sangat bersalah dan sangat terasa jauh. Padahal kami dekat.
Efek yang sangat luar biasa ketika menjadi korban perceraian itu sendiri, ada banyak orang yang sampai harus tinggal di jalanan, terlebih lagi jika ada anak kecil yang sebenarnya tidak tahu apapun, tidak mengerti apa yang sedang dia hadapi, namun harus terpaksa mandiri dan menerima keadaan yang amat terpuruk.
Saya ingat pernah melihat seorang anak di pinggir lampu merah, kejadiannya sudah cukup lama, memeluk erat gitar kecil yang selalu ia bawa di dadanya. Tidak ada yang memperhatikan, tidak ada yang peduli, menjual suara mereka berharap ada orang yang mau memberikan sisa uang mereka. Apa itu keinginannya? Di mana orang tua mereka?
Saat itu yang bisa saya lakukan hanya memberi sedikit uang kembalian yang ada di saku saya, sambil berkata dalam hati, “Jadilah kuat, buatlah mimpi dan gapailah mimpimu. Jangan pernah lupakan itu.”
Sedikit kata dan doa. Hanya itu yang bisa saya berikan, setidaknya untuk saat ini.
Apa yang mereka rasakan, mereka alami, saya sangat tahu semua kesedihan mereka, biarpun saya lebih beruntung dari mereka, karena masih ada orang yang mau mengurus saya dan menyekolahkan saya.
Percayalah bahwa luka yang amat memilukan itu sangat sulit sekali untuk hilang, biarpun ada beberapa faktor yang bisa mengalihkan perasaan itu, saya sendiri selalu berteriak di dalam hati, “Lupakan..!!”. Namun tetap saja ketika saya melihat seorang anak dengan kedua orang tuanya, yang sedang asik berbicara dan tertawa di sebuah tempat makan, membicarakan hobby mereka, cita-cita mereka, di mana mereka ingin bersekolah, apa yang mau mereka beli, semua itu mengingatkan saya dengan luka yang pahit itu.
Saya iri.
Di gereja tempat saya beribadah, setiap tahun selalu diadakan acara untuk para keluarga, acara ketika anak-anak, remaja, pemuda memberikan hadiah kepada orang tuanya, bernyanyi di depan mimbar dan menyampaikan rasa sayang mereka karena telah merawat mereka, telah memberikan mereka cinta kasih yang nyata antara orang tua dan anak, pemandangan yang sangat membahagiakan.
Saya pun ikut serta bernyanyi, dengan senyuman yang keluar dari bibir saya ketika sampai di depan, bernyanyi seolah-olah saya adalah bagian dari mereka, melihat para orang tua yang merasa sangat senang dan terharu karena anak mereka bernyanyi untuknya. Ekspresi saya yang keluar saat itu adalah sebuah kebohongan. Saya menahan semuanya, berteriak dalam hati, “Jangan menangis! Tersenyumlah!”. Tak ada kata-kata lain, hanya itu yang saya pikirkan. Namun ketika pikiran itu semakin dalam, ternyata perihnya semakin dalam pula.
Bukannya saya tidak mensyukuri apa yang saya punya, saya sangat senang dengan keadaan saya sekarang, senang karena saya mengalami hal itu, saya jadi mengerti arti dari kesendirian dan tidak memiliki apapun.
Dan karena itu juga saya ingin menjadi seorang penulis, setidaknya saya ingin membagikan apa yang saya rasakan, apa yang saya alami, apa yang sudah saya lakukan, memberitahukan kepada mereka kalau mereka tidak sendiri, memberitahukan kepada mereka tentang cita-cita yang harus ada di hati kecil mereka.
Hanya itu.