Teringat dengan seorang pria yang suka bercanda dengan temannya, tersenyum bahagia membahas kejadian-kejadian lucu tentang kelakuan mereka. Saat itu saya masih kecil, memandanginya sambil bermain pasir. Sampai saat ini, tidak pernah bisa saya lupa bagaimana raut wajah dengan tawa bahagia itu keluar.
Dia tidak memiliki banyak hal di hidupnya, mungkin sebagian orang menganggap dia adalah bencana, pembuat masalah, dan tidak bisa diandalkan. Namun entah kenapa padangan itu tidak pernah terlintas di kepala saya, walaupun di beberapa kejadian di hidup saya dia memang melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dia lakukan. Bahkan diantaranya sampai membuat saya tidak bisa melanjutkan sekolah saya ke tingkat berikutnya.
Lucunya, saya tidak terlalu menganggap bahwa itu adalah hal yang penting, mungkin karena sedari dulu saya sudah menyadari bahwa kami berdua memang tidak memiliki apa-apa, bahkan saya hampir tidak pernah meminta hal-hal besar seperti kebanyakan orang lakukan. Saya bahagia dengan apa yang saya miliki, setidaknya saya masih memiliki sosok seperti dia di hidup saya.
Pernah suatu waktu dia mengajak saya makan berdua di sebuah pasar, kami sangat jarang makan bersama. Saya ingat kami membeli soto daging dan makan berdua di sana, lokasinya di pinggir jalan, hanya ada 1 meja dan 2 kursi plastik, kejadian itu tidak pernah bisa saya lupa sampai hari ini. Kira-kira saat itu saya masih sekolah dasar, saya pikir itu pertama kalinya saya makan soto daging berdua dengannya, walaupun tidak ada perbincangan di antara kami saat itu, tapi kejadian itu tidak pernah bisa saya lupa, dan karena hal itu juga saya jadi benar-benar menyukai soto daging. Setiap kali saya melihat seseorang berjualan soto daging di pinggir jalan, saya teringat momen itu.
Dia tidak pernah menuntut apapun dari diri saya, bahkan dari semua hal yang pernah saya lakukan, dia tidak pernah marah, mungkin karena dia tahu bahwa saya sering dimarahi.
Tidak banyak hal yang bisa dia berikan, saya pun tidak menginginkan apa-apa, kami berdua seperti sudah sama-sama saling memahami keadaan walau tidak pernah membahasnya. Seringkali dia pergi dan tidak pulang dalam jangka waktu yang sangat lama selama berbulan-bulan, terkadang saya bertanya ke diri sendiri ke mana dia pergi dan kapan dia pulang? Apa yang dia lakukan dan di mana dia tinggal? Tidak pernah ada jawaban pasti yang bisa saya terima, namun pada akhirnya kami tetap bertemu kembali.
Saya bukan orang yang bisa mengekspresikan diri tentang rasa peduli, saya selalu memperhatikan dirinya dengan cara saya sendiri. Bisa dibilang mungkin saya adalah harapan satu-satunya bagi dia, mungkin dia berharap suatu saat kami berdua bisa seperti orang lain, namun sampai akhir hidupnya, saya tidak bisa memenuhi harapannya. Di dua puluh lima, satu hal yang saya pikirkan ketika saya melihat sebuah peti yang berisi seorang pria paruh baya itu, saya hanya bisa mengucapkan beberapa kata, "Saya gagal, saya gagal dalam banyak hal. Maafkan saya". Sejak saat itu saya sangat mengerti apa itu kegagalan.
Dia memang tidak pernah bercerita, namun saya pikir dia sudah mengalami banyak sekali kegagalan, entah sudah berapa banyak kekecewaan mampir di hidupnya, matanya selalu berbicara kepada saya bahwa apapun yang akan saya alami, saya harus kuat, itu yang paling saya mengerti dari dirinya. Apapun perbuatan yang pernah dia lakukan, saya selalu menyayanginya, walau saya bukan orang yang bisa memperlihatkan ekspresi saya tentang hal tersebut.
Sampai saat ini, di seperempat abad lewat sedikit, lebih tepatnya dua puluh enam, saya masih tidak tahu bagaimana saya di dua puluh tujuh dan seterusnya, namun pelajaran hidup yang saya lihat darinya selalu mendorong saya untuk bisa terus berjalan, entah di depan sana ada berapa banyak beling yang harus saya injak, saya akan menikmati rasa sakitnya dengan segenap hati saya, lagi pula diantara beling-beling tadi, masih ada beberapa mangkuk soto daging yang bisa saya nikmati.