Pagi ini saya pergi ke Lawson untuk membeli cemilan dan berfikir untuk bersantai di sana, tempat yang cukup nyaman untuk menikmati makanan ringan, saya duduk di dekat jendela, dengan pemandangan langsung ke arah jalan raya, melihat banyak kendaraan melewati area itu, melihat juru parkir, dan seorang ibu yang berjualan nasi uduk persis di depan area parkir.
Pemandangan yang begitu normal dan terlihat biasa saja---sangat biasa saja. Setidaknya itu yang ada di kepala saya saat itu. Lalu ada seorang bapak sedang mengangkat karung besar di punggungnya, memasuki area parkir dan memeriksa tempat sampah, mencari botol-botol bekas, memungutnya dan memasukannya ke dalam karung. Ini juga salah satu pemandangan biasa saja, karena sepertinya setiap hari kita bisa melihat pemandangan yang seperti itu di setiap area kota.
Lucunya, saya tidak hanya melihat bapak itu, setelah dia pergi dari pandangan saya, muncul seorang ibu dengan plastik besar masuk ke area parkir dan melakukan hal yang sama seperti bapak tadi, sampai dia pun juga hilang dari pandangan saya. Setelahnya ada juga seorang ibu dengan sebuah nampan besar di kepalanya, saya pikir isinya adalah kue-kue dan gorengan, melewati area itu juga.
Rasanya jika saya tidak beranjak pergi dari tempat duduk ini hingga sore, mungkin saya akan melihat pemandangan itu lebih dari 100 kali. Membuat saya berfikir, di "pemandangan biasa saja" yang setiap hari saya lihat, menyimpan begitu banyak harapan dan rasa sakit.
Hingga di satu momen, kembali muncul seorang bapak tua dengan pakaian warna-warni yang cukup mencolok dari ujung kaki hingga leher, membawa sebuah wig keriting berwarna kuning di tangannya. Dia menghampiri ibu yang berjualan nasi uduk di depan area parkir, dan membeli sepiring nasi. Karena cuaca pagi ini cukup cerah, sinar matahari cukup menghangatkan orang-orang sampai dia akhirnya memutuskan untuk makan sepiring nasi uduk itu di depan saya. Bedanya, saya berada di dalam Lawson dengan AC yang cukup dingin, sementara dia duduk di lantai di luar mini market ini. Kita berdua dipisahkan oleh sebuah kaca dan kursi.
Walaupun dia duduk membelakangi saya, tapi saya bisa melihat wajahnya karena beberapa kali dia menoleh ke samping untuk mengambil teh hangatnya, dia juga sempat melihat ke belakang, munundukan kepala memberi pesan bahwa dia ingin menumpang makan di depan saya, saya pun membalas dengan menundukan kepala juga.
Saya memang tidak tahu apa isi hatinya, tapi dari wajah yang cukup kotor serta mata yang sedikit merah yang terlihat belum tidur itu memberikan saya kesimpulan bahwa---dia sangat kelelahan. Entah sudah berapa kilometer dia berjalan kaki tanpa alas, entah berapa banyak uang yang dia terima, sepertinya saya tidak melihat bahwa dia memiliki banyak uang seperti seorang badut yang ramai di media sosial.
Pemandangan biasa saja yang biasa dilihat orang-orang ini mengusik hati saya, saya tidak bisa menjelaskan apa yang saya rasakan, perasaan nyaman bahwa saya diingatkan kalau bukan hanya saya yang sedang kesulitan? Perasaan sedih karena ada banyak yang lebih sulit di luar sana? Senang atau sedih? Saya tidak tahu. Yang saya tahu saya tidak sendirian mengalami rasa sakit ini, membuat saya kembali memutuskan untuk terus berjalan sejauh yang saya bisa, entah di sana sedang menunggu apa yang saya impikan atau malah tidak ada apapun di sana? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya masih bisa berjalan.
Saya pikir, bapak yang membawa karung tadi, ibu yang membawa plastik besar tadi, ibu yang membawa nampan besar di kapalanya tadi, dan bapak tua di depan saya, juga memikirkan hal yang sama.